Perkembangan Emosi Anak Dalam Perspektif Erikson, Hambatan dan Upaya Memaksimalkannya
Berdasarkan teori perkembangan hidup yang dikemukakan
Erikson, usia 4 – 6 tahun berada pada masa inisiatif vs rasa bersalah. Pada
tahap ini, anak merasakan dunia sosial yang lebih luas. Anak mendapatkan lebih
banyak tantangan ketimbang saat masih bayi (Santrock, 2009: 87). Pada tahap
ini, anak mengembangkan inisiatif ketika mencoba berbagai kegiatan baru dan
tidak diliputi rasa bersalah (Papalia, 2009: 46). Apabila rasa bersalah
melebihi perkembangan inisiatif anak, maka anak akan menjadi anak yang ridak
dapat mengekspresikan kepribadiannya dengan leluasa karena takut dianggap
salah. Anak akan menjadi anak yang diliputi rasa ragu-ragu. Perkembangan
psikososial pada anak usia 4-6 tahun merupakan perkembangan yang bersifat
kumulatif yang berarti bahwa perkembangan psikososial pada tahap awal akan
mempengaruhi perkembangan psikososial pada tahap selanjutnya. Oleh karena itu,
jika terjadi hambatan dalam perkembangan psikososial pada tahap awal, maka
keadaan ini akan mempengaruhi perkembangan psikososial pada tahap selanjutnya
(Martini Jamaris, 2003: 35).
Karakteristik perkembangan sosial emosional pada anak usia 4 – 6 tahun antara lain :
a. Anak sudah dapat mengontrol perilakunya
sendiri
b. Anak sudah dapat merasakan kelucuan
(misalnya ikut tertawa ketika orang dewasa tertawa atau ada hal-hal yang lucu)
c. Rasa takut dan cemas mulai berkembang
dan hal ini akan berlangsung sampai usia 5 tahun
d. Keinginan untuk berdusta mulai muncul,
akan tetapi anak takut melakukannya.
e. Perkembangan humor berkembang lebih
lanjut
f. Anak sudah dapat mempelajari mana yang
benar dan mana yang salah
g. Anak sudah dapat menenangkan diri
h. Pada usia 6 tahun, anak menjadi sangat
assertif, sering berperilaku seperti boss (atasan), mendominasi situasi, akan
tetapi dapat menerima nasihat
i.
Anak sering
bertengkar tetapi cepat berbaik kembali
j.
Anak sudah
dapat menunjukkan sikap ramah
k. Anak sudah dapat membedakan yang benar
dan yang salah dan sudah dapat menerima peraturan dan disiplin.
Hambatan proses perkembangan emosi pada anak usia dini
dapat dilihat dari tiga faktor yaitu :
a. Faktor
heriditas dan kondisi fisik
Faktor heriditas (keturunan) akan menyebabkan hambatan
perkembangan sosial emosional. Anak yang dilahirkan dari keluarga yang memiliki
keturunan tuna rungu, maka akan mempengaruhi kondisi psikis anak. Anak akan
sulit berinteraksi dengan lingkungan jika dari sejak usia dini tidak memperoleh
stimulasi yang baik. Kondisi ini akan memunculkan rasa kurang percaya diri atau
minder yang berakibat pada terhambatnya perkembangan sosial emosional anak.
Faktor kondisi berkaitan dengan pertumbuhan fisik yang
tidak sempurna terutama yang terjadi pada otak. Pertumbuhan otak baik sebelum
kelahiran dan selama tahun-tahun masa kanak-kanan sangat penting bagi
perkembangan fisik, kognitif dan sosial emosional di masa yang akan datang.
Tersenyum, menggumam, berbicara, merangkak dan berjalan (semua tahapan utama
sensorik, motorik dan kognitif pada anak) dimungkinkan karena perkembangan yang
cepat di otak terutama di korteks serebrum (Papalia, 2009: 182-184).
Anak yang memiliki penyakit kronis, maka akan menghambat
perkembangan sosial emosional. Anak tidak memperoleh kesempatan yang luas untuk
mengembangkan kemampuan sosial emosionalnya. Interaksi yang dilakukannya sangat
terbatas pada orang-orang yang dekat dengannya. Rasa depresi, cemas dan takut
mungkin akan muncul pada waktu yang berkepanjangan. Hal ini juga akan menghambat
proses penyembuhan dari sakitnya. Dengan demikian, maka faktor kondisi fisik
saling berpengaruh dengan perkembangan sosial emosional anak.
b.
Faktor
keluarga
Perkembangan emosi anak dipengaruhi oleh pola asuh orang
tua, hubungan antar anggota keluarga, kondisi sosial ekonomi maupun peranan
masing-masing anggota keluarga. Pola asuh orang tua memiliki beragam jenis.
Orang tua yang terlalu otoriter dalam mendidik anak akan menyebabkan anak
mengalami depresi. Anak tidak bebas dalam mengekspresikan perasaannya karena
mungkin ada perasaan takut orang tuanya marah ataupun hal lain yang membebani
perasaan dirinya.
Perkembangan emosi juga akan mengalami hambatan jika
dalam hubungan antar anggota keluarga tidak harmonis. Sebagai contoh ketika
anak dihadapkan pada peristiwa perceraian yang dialami orang tuanya, maka anak
akan merasakan terbatasnya kasih sayang dan peranan orang tua (ibu, ayah atau
keduanya) terhadap dirinya. Kelekatan yang sebelumnya terjalin memberikan efek
positif. Hal ini sejalan dengan pendapat Papalia (2009: 278) yang menyatakan
bahwa kelekatan memiliki nilai adaptif bagi anak, memastikan bahwa kebutuhan
psikososial dan fisik anak terpenuhi. Pada keluarga yang orang tuanya mengalami
perceraian, kebutuhan emosi yang seharusnya diperoleh dari orang tua menjadi
berkurang, akibatnya perkembangan emosinya pun mengalami hambatan. Faktor ini
juga berkaitan dengan faktor peranan orang tua (ayah dan ibu).
Faktor sosial ekonomi juga menjadi salah satu penghambat
perkembangan emosi. Kondisi sosial ekonomi yang lemah memungkinkan orang tua
mengalami depresi. Hasil penelitian yang dilakuan oleh Maccoby dan McLody
(Syamsu Yusuf, 2005: 53) menunjukkan bahwa orang tua kelas bawah atau pekerja
cenderung sangat menekankan kepatuhan dan respek terhadap otoritas, lebih
restriktif (keras) dan otoriter, kurang memberika alasan kepada anak, kurang
bersikap hangat dan memberi kasih sayang kepada anak. Dalam memperlakukan anak,
keluarga pada sosial ekonomi bawah cenderung lebih keras dalam “toilet
training” dan lebih sering menggunakan hukuman fisik dibandingkan pada kelas
menengah dan atas. Anak –anak pada keluarga dengan sosial ekonomi bawah
cenderung lebih agresif, independen dan lebih awal dalam pengalaman seksual.
c.
Faktor
lingkungan
Seorang anak merupakan individu yang memiliki dorongan
kuat untuk berinteraksi dengan orang lain (Papalia, 2009: 286). Lingkungan
menjadi salah satu faktor penghambat perkembangan anak. Pada dasarnya,
lingkungan memberikan banyak stimulus kepada upaya pengembangan kemampuan sosial
emosional anak. Faktor lingkungan disini menunjuk pada lingkungan sekolah dan
teman sepermainan. Sekolah menjadi salah satu lembaga yang dapat menghambat
perkembangan sekolah. Hurlock mengemukakan bahwa sekolah merupakan penentu bagi
perkembangan kepribadian anak baik cara berpikir, sikap maupun cara
berperilaku. Sikap yang kurang baik dari guru terhadap siswanya dapat mempengaruhi
kondisi sosial emosional anak. Perilaku guru yang tidak efektif seperti sikap
apatis, kurang perhatian, depresi, mudah marah, tidak sabar, curiga, kurang
memotivasi siswa, memberikan bantuan dengan setengah hati dan sikap-sikap
lainnya akan menghambat perkembangan sosial emosional anak. Hubungan yang
harmonis antara guru dengan siswa akan menciptakan kondisi yang nyaman dan aman
bagi anak. Hubungan yang harmonis ini ditandai dengan ciri-ciri sebagai
berikut: 1) tujuan pengajaran dapat diterima oleh guru dan siswa, 2) pengalaman
belajar dirasakan nyaman oleh guru dan siswa, 3) guru menampilkan peranannya
sebagai guru dalam cara-cara yang selaras dengan harapan siswa.
Berkaitan dengan hubungan dengan teman sepermainan,
perkembangan sosial emosional dapat terhambat jika dalam hubungan dengan teman
sebaya tersebut tidak harmonis. Agresi menjadi penindasan (bullying) ketika
dilakukan secara sengaja, terus menerus diarahkan kepada target tertentu,
korban biasanya mereka yang lemah, rentan dan tak terlindungi (Papalia, 2009:
522). Jika anak berada dalam posisi sebagai korban, maka anak akan diselimuti
dengan perasaan takut dan cemas setiap kali bertemu dengan teman sebayanya. Hal
ini akan menghambat perkembangan sosial emosional anak.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan individu dewasa :
a. Perlu
diperhatikan kekuatan atau potensi yang dimiliki anak dari keluarga miskin. Hal
ini akan menumbuhkan kepercayaan diri dan kemandirian pada diri anak dengan
mengembangkan kemampuan yang dimilikinya.
b. Dorong
anak untuk berinisiatif. Anak pada usia prasekolah perlu mendapatkan kebebasan
untuk mengeksplorasi dunia mereka dengan memilih kegiatan / aktivitas sesuai
dengan minatnya.
c. Berilah
materi yang menarik dan memicu imajinasinya melalui aktivitas bermain karena
bermain akan mengembangkan berbagai kemampuan anak.
d. Memupuk
motivasi untuk menguasai pengetahuan dan rasa ingin tahu dengan memberikan
tantangan tetapi jangan terlalu memberatkan anak (Santrock, 2009).
e. Membantu
anak agar memahami alasan tentang diterapkannya aturan, seperti keharusan
memelihata ketertiban di dalam kelas dan larangan masuk atau keluar kelas
saling mendahului.
f. Membantu
anak untuk memahami dan membiasakan mereka untuk memelihara persahabatan,
kerjasama, saling membantu dan saling menghargai / menghormati.
g. Memberikan informasi kepada anak tentang adanya
keragaman budaya, suku dan agama di masyarakat di kalangan anak sendiri dan
perlu saling menghormati di antara mereka (Syamsu Yusuf, 2005: 172).
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon